Salam Rasta - Rumah berwarna hijau itu terpisah dari rumah lainnya, berada di sekitar kawasan wisata Situ Gintung, Cirendeu, Ciputat Tangerang Selatan. Lokasinya tidak jauh dari kampus dua Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Jakarta.
Saat hukumonline berkunjung ke sana awal Oktober, dua orang pria sedang berbincang di teras. Di samping mereka ada spanduk yang menunjukkan identitas rumah berwarna hijau. Penghuni lebih menyebut rumah di kawasan wisata itu sebagai Rumah Hijau LGN.
Rumah Hijau LGN adalah ‘markas’ aktivis Lingkar Ganja Nusantara, sebuah komunitas yang berusaha mengadvokasi dan mengedukasi tanaman ganja. Kata ‘lingkar’ sengaja dipakai untuk menggambarkan kebiasaan melingkar saat para pemakai berdiskusi atau menggunakan ganja.
LGN mengangkat isu kotroversial: legalisasi ganja. Beragam souvenir yang menunjukkan semangat advokasi legalisasi ganja tersedia di Rumah Hijau LGN. Tugas advokasi dan edukasi yang diusung LGN memang tidak mudah. Bahkan bisa dianggap melawan arus. Bayangkan, ketika hukum positif memasukkan ganja sebagai barang haram (narkotika), para aktivis LGN justru ingin melakukan sebaliknya.
Lampiran I UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memasukkan tanaman ganja, semua tanaman genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis. Artinya, tanaman ganja dan bagian-bagiannya adalah narkotika, dan pelakunya bisa dihukum berat.
Hambatan regulasi itu sebenarnya bisa ‘dilawan’ LGN dengan mengajukan judicial review UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi. Tetapi Dhira Narayana, Ketua LGN, menganggap waktunya belum tepat untuk menempuh upaya hukum warga Negara itu.
Timing yang belum tepat itu tak membuat LGN bekerja sembunyi-sembunyi. Buktinya, orang bisa secara terbuka melihat Rumah Hijau LGN. Di sini, rancangan advokasi dan edukasi itu dimatangkan dam disuarakan. Salah satu yang tercatat adalah aksi longmarch LGN di Jakarta, 7 Mei 2011 silam. Puluhan aktivis berkaos putih dengan logo LGN membawa beragam spanduk, antara lain bertuliskan ‘Legalisasi for Medis’.
“Saat itu belum ada wadah yang resmi yang menaungi gerakan ini, baru sekadar kumpul-kumpul dan melakukan aksi aja”, Dhira mengenang aksi longmarch merayakan hari Global Marijuana March itu.
Global Marijuana March (GMM) itu sendiri merupakan sebuah perayaan untuk memperingati hari perjuangan legalisasi ganja di seluruh dunia yang diadakan serentak di tempat yang berbeda biasanya dilakukan pada setiap hari Sabtu di minggu ke-1 pada bulan Mei. GMM juga menjadi sebuah ajang untuk memperkenalkan budaya ganja (cannabis culture) sebagai gaya hidup. “Aksi kita di GMM waktu itu jadi cikal bakal adanya LGN nantinya,” tutur mahasiswa lulusan Psikologi UI itu
Sebelum LGN berdiri, komunikasi informal sudah dilakukan Dhira dengan beberapa orang yang punya perhatian serupa. Dari diskusi informal itu dibuatlah group di media social sebagai sarana silaturrahmi. Group yang diberi nama “Dukung Legalisasi Ganja” itu telah di-like oleh kurang lebih 42.000 orang saat ini telah ‘lenyap’ entah kemana. “Group itu dihapus tahun 2011, tapi entah sama siapa”, ucapnya.
Dhira mengakui terus terang LGN belum mempunyai status badan hukum. Karena itu, sejauh ini organisasi lebih sebagai wadah berkumpul untuk menyatukan visi misi. Ini pula yang membuat organisasi begitu cair. Untuk menghidupi organisasi, LGN menerima iuran anggota, sumbangan donatur, dan penghasilan dari jualan souvenir. Yang mau bergabung sebagai anggota dikenakan biaya 200 ribu rupiah. “Kalau mau bubar, ya bubar begitu saja”.
Dhira mengaku ikut membantu Yayasan Sativa Nusantara untuk melakukan riset tentang ganja di Indonesia. Ia berharap ada suatu kajian yang sifatnya prinsip dan filosofis sehingga akan terjawab reasoning yang mendasari LGN memperjuangkan legalisasi ganja di Indonesia. Sebuah perjuangan yang tidak mudah karena pada saat bersamaan hukum positif Indonesia memasukkan tanaman ganja sebagai narkotika.